KODE IKLAN DFP 1 Heboh !! Kader PKS Urus Jenazah Nenek Hindun | DUNIA BERITA

IKLAN

Heboh !! Kader PKS Urus Jenazah Nenek Hindun

KODE IKLAN 200x200
Heboh !! Kader PKS Urus Jenazah Nenek Hindun
Heboh !! Kader PKS Urus Jenazah Nenek Hindun

Kubu Tim Sukses pasangan calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, meminta isu penolakan pengurusan jenazah Nenek Hindun, diluruskan. Sebab, dalam kenyataannya, yang mengurusi jenazah Nenek Hindun adalah kader-kader PKS yang merupakan pendukung Anies-Sandi.

"Perlu diluruskan agar mendapat pemahaman yang utuh," kata anggota tim sukses Anies-Sandi, Andre Rosiade, Ahad (12/3).

Menurut wakil sekretaris jenderal DPP Partai Gerindra itu,  selain kader-kader PKS yang memandikan dan menshalatkan jenazah, yang mengantarkan jenazah Nenek Hindun ke pemakaman adalah ambulans dari tim sukses Anies-Sandi. Sementara, mobil ambulans dari Golkar dan PDIP yang merupakan partai pengusung Basuki Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat saat dihubungi warga sedang penuh atau tidak ada. 

"Sekali lagi kami menghimbau umat Islam tetap tenang, tetap melaksanakan syariat. Kalau ada saudara seiman kita yang meninggal kita tentu harus tetap membantu proses pemakamannya. Dari memandikan, mengkafani, mensholatkan sampai mengantar ke kuburan," kata Andre. 

Secara umum, Andre meminta  umat Islam tetap bersatu dan membantu sesama saudara.  Andre menekankan, beda pilihan dalam demokrasi adalah hal yang biasa.

Meski dalam Islam ada aturan yang menyatakan memilih pemimpin non-Muslim itu dilarang, namun selayaknya aturan itu tidak merusak tenun kebangsaan dan kebinekaan. 

"Jangan sampai umat Islam terkotak-kotak dengan pilihan. Berbeda pilihan itu adalah bagian dari demokrasi, mari kita tunjukkan bahwa Islam itu rahmatan lil 'alamin," jelas Andre. 

Sebelumnya, berkembangnya berita terkait nenek Hindun (78 tahun) warga RT 09/RW 05 Karet, Setiabudi yang disebut ditolak disholatkan di musala karena berbeda pilihan politik di Pilkada DKI, meresahkan warga dan Ketua RW setempat.

Ketua RW 05, Kelurahan Karet, Kecamatan Setiabudi, Ishak mengatakan apa yang disampaikan di media bahwa jenazah almarhum tidak disholatkan atau ditolak warga itu tidak benar. Kesalahan informasi tersebut, menurutnya, karena informasi yang sepotong-sepotong didapatkan wartawan, beberapa hari setelah jenazah almarhumah dimakamkan. 

Padahal, kata dia, tidak lama setelah almarhum meninggal pada hari Selasa (7/3), saat itu juga pengurus Musala Almukminun membantu proses pemandian dan pengafanan.

Terkait jenazah yang tidak disholatkan di musala yang sempat dipersoalkan keluarga korban, Ketua RW menyampaikan ini bukan karena penolakan terkait pilihan politik. Akan tetapi waktu yang saat itu memang sudah sangat singkat jelang petang hari.

"Sedangkan keluarga almarhumah meminta agar jenazah dimakamkan hari itu juga," ujarnya.

Menakar Hukum Larangan Menshalati Jenazah Orang Munafik

Beredarnya pemberitaan  pengurus masjid yang enggan menshalatkan jenazah pemilih pemimpin non-Muslim menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Pesan dalam spanduk yang berbunyi 'Masjid Ini tidak Menshalatkan Jenazah Pendukung dan Pembela Penista Agama' menjadi viral di media sosial. 

Para pendukung diterbitkannya imbauan tersebut beralasan bahwa pemilih pemimpin non-Muslim memiliki sifat munafik. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS at-Taubah ayat ke-84 yang berbunyi, "Dan, janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik."

Turunnya ayat ini merupakan teguran kepada Rasulullah SAW yang hendak menyalatkan Abdullah bin Ubay bin Salul. Salah satu tokoh munafik terkemuka di Madinah. Imam Ibnu Katsir menukil dari Hadis Riwayat Imam Bukhari. Pada saat matinya Abdullah bin Ubay bin Salul, anak Abdullah yang juga bernama Abdullah menghadap kepada Rasulullah SAW. Dia meminta agar Nabi memberikan gamis nabi untuk dijadikan kain kafan ayahnya. 

Kemudian, Abdullah meminta kepada Rasulullah untuk menshalatkan jenazah ayahnya. Rasulullah pun bangkit untuk menyalatkannya. Namun, Umar bangkit seraya menarik baju Nabi untuk melarang beliau menshalatkannya. Rasulullah SAW pun bersabda: "Sesungguhnya Allah hanya memberiku pilihan. Dia telah berfirman,"Kamu mohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Dan, aku akan melakukannya lebih dari tujuh puluh kali."

Umar pun berkata kepada Nabi. "Dia orang munafik." Namun, Rasulullah tetap menshalatkannya, kemudian turunlah ayat yang berisi larangan untuk menshalatkan orang munafik tersebut. Ketua Dewan Pakar Masjid Al Ihsan Ustaz Adi Hidayat menjelaskan, usai turunnya ayat itu, Nabi tidak pernah lagi menshalatkan orang-orang yang terindikasi memiliki karakteristik seperti Abdullah bin Ubay bin Salul.

Hanya, ujar Ustaz Adi, Nabi akan mengonfirmasi terlebih dahulu sebelum bersikap demikian. Bagaimana keadaan dan sikap orang tersebut kepada Islam hingga akhir hayatnya. Jika sudah dipastikan munafik, Nabi tidak menshalatkannya.

"Tapi, perhatikan bagaimana Nabi menolak untuk menyalatkan. Silakan keluarga atau temannya yang menyalatkan. Saya tidak menyalatkan," ujar Ustaz Adi saat berbincang dengan Republika di Bekasi, belum lama ini.

Melihat dari praktik yang Nabi perbuat, pendiri Quran and Sunnah Solution ini sembari menukil dari pendapat Imam Ibnu Katsir menjelaskan, hukum tidak menshalatkan orang munafik merupakan hukum umum. Tidak hanya sebatas kepada Abdullah bin Ubay bin Salul. Hukum ini dikenakan bagi orang yang terindikasi betul bahwa meski Muslim, dia menentang ajaran Islam. Itu pun diketahui oleh kaumnya. Bukan hanya tidak boleh dishalatkan, kuburannya pun tak boleh didoakan.

Merujuk pada kisah Abdullah bin Ubay bin Salul, dia merupakan orang yang paling dekat shalat dengan Nabi. Akan tetapi, ketika shalat sudah selesai, dia kembali mencela Nabi. Dia juga pernah membuat masjid tandingan atau masjid dhirar untuk menyaingi masjid nabi. Dia pun memprovokasi pasukan Muslim untuk meninggalkan medan laga saat terjadi Perang Uhud. 

Ustaz Adi melanjutkan, hukum larangan menshalatkan juga hanya dikenakan kepada orang yang benar-benar mengetahui bahwa jenazah tersebut pun memang munafik.

Untuk orang yang tidak tahu maka tidak dikenakan hukum tersebut. Ini merujuk saat Nabi menolak menshalatkan jenazah orang munafik sambil mempersilakan teman dan keluarganya yang menshalatkan. Artinya, kata Ustaz Adi, shalat jenazah masih terbuka buat orang yang tidak mengetahui kemunafikan jenazah hingga akhir hayatnya.

Syarat lainnya adalah sifat munafiknya dibawa sampai meninggal dunia. Jangan tiba-tiba masyarakat enggan menshalatkan jenazah yang di masa hidupnya menentang Islam padahal di akhir hidupnya dia bertaubat kepada Allah SWT.

Kehati-hatian ini ditunjukkan Umar bin Khattab manakala hendak menyalatkan jenazah. Umar baru berani menyalatkan jenazah seseorang jika dia melihat Hudzaifah al Yamani menyalatkan jenazah itu. Hudzaifah dikenal memiliki ketajaman pengetahuan untuk mengetahui apakah seseorang itu munafik atau tidak. "Kalau Hudzaifah tidak menshalatkan, baru Umar tidak berani."

Ustaz Adi pun mencontohkan saat Ir Sukarno wafat pada 21 Juni 1970.  Ketika itu, Buya Hamka yang notabene pernah dipenjara saat rezim Bung Karno, ikhlas menshalatkan jenazah proklamator itu.  Padahal, Bung Karno dikenal represif terhadap aktivis Islam pada masa itu. Meski demikian, Buya Hamka tak ragu menjadi imam jenazah presiden pertama. Menurut Ustaz Adi, ini menjadi indikasi bahwa kemungkinan Buya Hamka melihat Bung Karno sudah bertaubat. 

Kemudian, Ustaz Adi berpendapat hukum ini tidak berlaku bagi orang awam. Dia mencontohkan bagi Muslim yang memilih pemimpin non-Muslim yang menggunakan suaranya karena faktor uang dan tidak mengetahui isi ayat tersebut maka hukum fikih ini tidak berlaku. "Mungkin arti munafik saja dia tidak tahu," kata Ustaz Adi. 

Meski demikian, Ustaz Adi memberi catatan bahwa ada pendekatan  selain fikih ibadah yang dijelaskan di atas. Ustaz lulusan Libia ini menjelaskan, fikih dakwah dijadikan pendekatan preventif untuk memandang suatu masalah. 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan, wajib bagi orang Islam untuk menyalatkan Muslim yang meninggal meski yang bersangkutan dituduh munafik. "Kita tidak boleh menghukumi seseorang itu munafik atau kafir, yang berhak hanya Allah SWT," kata Zainut. Menurut Zainut, pengurusan jenazah seorang Muslim hukumnya fardhu kifayah. Umat Islam pun bekewajiban memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan bagi seorang jenazah Muslim.

Fardhu kifayah, kata dia, bermakna jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya maka semua orang yang mukim atau bertempat tinggal di daerah tersebut berdosa. Menurut dia, sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Umar bin Khattab RA pernah berkata, "Dulu ketika Rasulullah masih hidup, untuk menilai apakah orang itu munafik atau tidak itu dijawab dengan turunnya wahyu Allah. Tetapi, setelah Rasulullah wafat maka untuk menghukumi seseorang itu beriman atau tidak, hanya bisa dilihat dari yang tampak lahirnya bukan batinnya."

Sabda itu, menurut Zainut, menunjukkan tidak bolehnya memvonis keyakinan dan kepercayaan orang lain sepanjang orang tersebut masih memperlihatkan keIslamannya. MUI, kata dia, mengimbau kepada semua umat Islam agar bersikap proporsional. Dia pun mengimbau agar umat Islam harus tetap menjaga persaudaraan.

Sumber : Republika.co.id
KODE IKLAN 300x 250
close
==[ Klik disini 2X ] [ Close ]==
Selamat Datang KODE IKLAN DFP 2
KODE IKLAN DFP 2